Kamis, 15 Maret 2012

KETIKA TEATER DITERTAWAI TELEVISI

Oleh ; Riyadhus Shalihin
Eskperimentasi kondisi manusia indonesia di alam entertain, telah mengalami tahap penghiburan yang merangsek dan melibas semua lini kebudayaan. Manusia Indonesia hari ini memasung limpahan nurtur kontemplatifnya dengan segala persoalan senda gurau dan juga gelak tawa. Usaha pemasungan ini kemudian masuk menerobos dalam ruang-ruang seni pertunjukan menuju narasi publik yang berjejaring luas.

Hari ini kita patut miris dengan lahirnya berbagai acara televisi, publik luas membutuhkan aktualisasi entertain secara lebih vital, melebihi kondisi primal teologisnya. Ada reposisi realitas ketika sinetron tidak lagi dapat memuaskan hasrat para masyarakat untuk mempersoalkan spekulasi tebak dramatik, ataupun acara-acara yang berbau seks sudah tidak lagi menjadi top rating, berita – berita artis dengan gosip-gosipnya sudah tidak begitu memanas, dan program artis-artis karbitan yang bermunculan dari berbagai media internet tidak lagi menjaring greget yang pedas dari masyarakat luas, lalu apa lagi objek yang akan digali oleh industri pertelevisian Indonesia.



TEATER DENGAN KEMASAN BERBEDA

Kreasi itu kemudian menjelma dalam program terbaru salah satu televisi swasta Indonesia, yang merupakan salah satu stasiun televisi dengan rating tinggi dan audiens remaja terbanyak . Mereka menghadirkan 2 buah program terbarunya yang bermaksud untuk memodifikasi seni teater ke dalam sebuah layar hibur, dengan tagline utama acara “Kini hadir teater dengan sentuhan berbeda, yang pasti membuat anda tertawa“ maka kita telah mendapatkan sebuah kesimpulan secara general bahwasanya dahulu teater adalah kondisi klasik sebuah seni yang tua, asing, kumuh dan tidak mempunyai nilai jual untuk dikomersialisasi melalui nilai-nilai nominal perniagaan, dan lembaga televisi datang sebagai “hero“ yang menyelamatkan teater dalam kondisi tuna modalnya untuk direvitalisasi, diberi bumbu penyegar sana-sini, menjadi sebuah tayangan pengocok perut yang siap membuat anda terpingkal-pingkal di depan layar televisi. Dengan acak usahawan televisi membawa kondisi hakikat seni pertunjukan teater yang hadir di dalam kondisi neumenon panggung menjadi tayangan luas di dalam layar eksebisi.

Ada keserampangan yang terjadi dalam meja sirkulasi perusahaan ketika melihat teater sebagai mangsa empuk untuk membongkar hakikat kejenuhan televisi, setelah renovasi dan daur ulang program maka kini giliran teater yang mendapat kehormatan untuk dijadikan “Sang Bintang“ baru dalam jagat euphoria selebratif, di sana teater segera terakomodir menjadi ujaran-ujaran banyol yang penuh daya tarik komedi, menggerus seluruh aura komikal dan juga dramatik pentas menjadi sang “badut“ baru. Ada pula acara yang memakai essensi pemakaian ucap olah dialog sebagai nama acaranya, lalu di sana hadir laku-laku pemeranan yang meniru-niru gestikulasi serta mimik para bintang-bintang komedi. Seperti misalnya salah satu peserta yang maju ke depan lalu disuruh untuk menirukan ekspresi seorang bintang lawak, dan itu adalah dinamakan segmen “meniru tokoh“, dalam beberapa detik laku duplikasi psikis “keaktoran“ mereka ejawantahkan demi menghasilkan respon tawa dari para penonton yang hadir. Tentu sirkulasi uang yang bermain di sana memberikan efek yang sangat kuat agar para “aktor teater “ dalam acara tersebut mampu semaksimal mungkin membuat para hadirin yang hadir terpuaskan, pembebasan hasrat saling menghina yang kemudian raib dan hilang sesaat itu juga, tanpa impresi, tanpa pesan, hanya tawa.

Segmen meniru tokoh dalam hitungan detik merobohkan nilai-nilai kodrati dalam laku pemeranan teater yang sesungguhnya. Proses keaktoran teater membutuhkan sistematika yang sangat panjang dan juga kultur penghayatan tokoh dalam suasana kultus lenyap dan hilang hanya dengan satu acara televisi. Usaha-usaha pemuliaan seni acting yang dilakukan oleh aktor-aktor teater yang terkadang membutuhkan sedikitnya 3 bulan untuk menjadi dan mewadag dalam sebuah pemeranan dilibas dalam hitungan detik, siap untuk menggedor hasrat spontanitas tertawa anda, tertawa pada televisi, menertawai teater.

USAHA PANJANG YANG TERPUTUS

Ada usaha-usaha meniru pemahaman pertunjukan drama yang diletupi dengan aura-aura showbiz, atau show business. bagaimana kondisi pemakaian naskah/lakon yang merupakan salah satu perangkat teater mereka jadikan duplikasi televisual, kondisi-kondisi set drama realis mereka hadirkan dengan cabik-cabik slapstick yang dilapisi dengan ekspresi komikal juga improvisatoris. Maka hadirlah sebuah teater baru, sebuah masterpiece seni yang melenyapkan semua narasi panjang pergumulan konsepsi teater, yang mengganti semua piranti mazhab-mazhab teater ke dalam remeh-temeh acara yang berseliwer berlalu, lenyap sesaat.

Teater sendiri sebelumnya pernah terputus dalam usaha pemaknaannya kepada publik, ketika ditunggangi oleh oknum jurnalis yang dengan ketidakpahamannya menyimpulkan segala bentuk demonstrasi dengan spektakel “seram, hitam, berlumpur-lumpur“ adalah sebuah bentuk teatrikalisasi demo, ataupun hadirnya para bocah-bocah di jalan yang meminta uang sembari melumuri badannya dengan cat dianggap pula sebagai sebuah kesenian teater, akhirnya dengan usaha kuratif segigih mungkin para seniman teater berusaha mengembalikan hakiki teater ke dalam kondisi ontologisnya. Namun pembiasan pemahaman ini tidak bisa lagi diproteksi oleh para penggiat teater secara prosesial, apabila media televisi telah berinisiatif untuk menyatakan kondisi “teater“ versi mereka, televisi absah sebagai juru bicara teater di sini, merekalah publik relasi teater abad baru yang memperkenalkan teater dari ujung aceh hingga pelosok papua.

Usaha Alm.Suyatna Anirun dengan Studi Klub Teaternya yang telah membangun suprajaringan teater selama berpuluh tahun demi mengakrabkan masyarakat dengan teater kini punah dan lumer, teater akan dikategorisasi secara remeh sebagai selebrasi acting yang dapat mudah dilakukan semua orang untuk menghibur massa, mencari uang juga berlenggak-lenggok demi mendapatkan ketenaran paras dalam usaha percantikan tubuhnya di depan layar.

Perlu diberi apresiasi bahwa hari ini lahir begitu banyak seniman teater yang semakin sadar teks, mereka memperpanjang teater dengan sarana bahasa, filsafat juga budaya sebagai ornamentasi teater agar semakin optimal secara lingustik, visual bahkan lintas media. Namun apa mesti dikata, inilah kondisi aktual teater hari ini yang berkembang di benak massa, apa yang mesti dilakukan oleh panggung dengan prosesi estetik berbulan-bulannya menghadapI pemeranan selama 5 detik yang disebarluaskan secara serentak di televisi, apa yang ditawarkan teater menghadapi narasi besar industri.

Kiranya ini hanyalah gambaran luas bagaimana kehadiran televisi yang tidak kita sadari, tak tanggung-tanggung telah merangsek dan melucuti riwayat teater secara tiba-tiba. Lalu apakah masih teater akan bersikap steril dengan segala lalu lintas narasi virtual di sekitarnya, karena ternyata lambat laun berdiam, logos teater perlahan-lahan terebut, bermula dari sisi artifisial maju perlahan menggerogoti menuju sisi fundamennya.

* Mahasiswa Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
Sumber : http://mediateater.com/ketika-teater-ditafsir-televisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar