Sabtu, 03 Maret 2012

Menulis Tanpa Pretensi Sebagai Terapi

Menulis Tanpa Pretensi Sebagai Terapi
oleh : Ine Febriyanti
Untuk kali pertama, pelaku seni peran Ine Febriyanti, menerbitkan tulisannya dalam sebuah buku. Ine tak sedang menjajal profesi baru sebagai penulis buku, apalagi beralih dari pilihan profesinya kini sebagai sutradara, penulis naskah film, dan pemain teater. Ia tergerak untuk menjadi bagian dari tujuh perempuan urban, yang mengekspresikan pemikiran, perasaan, juga pengalaman melalui tulisan dan buku.

Buku berjudul 7 Perempuan Urban Sebuah Catatan diterbitkan secara mandiri oleh komunitas dan penerbit Perempuan Bukan Penyair. Nama Ine tercantum di dalamnya, sebagai penulis, bersama enam perempuan urban lainnya dari berbagai latar belakang profesi. Satu tulisan Ine berjudul Misteri Panggung, di buku ini, merupakan perwujudan energi yang menggumpal dalam dirinya, selepas ia menuntaskan pementasan ulang monolog Surti pada Oktober 2011.

"Menulis itu terapi. Biasanya saya menulis jika sedang gelisah, marah, saat emosi tidak seimbang. Tulisan ini saya buat ketika saya akhirnya tampil di panggung teater setelah tujuh tahun vakum. Setelah menjalani proses persiapan pentas selama tiga bulan, lalu tampil dua hari, setelahnya saya merasa gelisah, masih banyak energi yang menggumpal dalam diri. Setelah menuliskannya, saya merasa lebih plong," tutur Ine kepada Kompas Female di sela peluncuran buku 7 Perempuan Urban Sebuah Catatan di Tjikini Cafe, Jakarta, Rabu (15/2/2012) lalu.

Ine memang terbiasa menulis sejak belia. Ia selalu menulis dengan tangan menggunakan kertas dan pena, mengenai apa saja yang membuatnya gelisah. Tulisannya lebih kepada pengalaman personal yang tak pernah terpikirkan olehnya untuk diterbitkan. Tapi sekali ini, Ine merasa tergerak menjadi bagian dari tujuh perempuan urban, demi mendorong perempuan lainnya untuk menulis saling memberikan inspirasi. Inspirasi bahwa perempuan juga punya ruang untuk menulis dan menerbitkan tulisannya melalui buku.

"Saya punya banyak tulisan seperti ini, tapi tidak untuk dipublikasikan," ungkap Ine yang tak lantas berpikir untuk menjadi penulis buku. "Saya bukan penulis buku, dan sebenarnya saya agak malu menerbitkan tulisan yang sangat personal ini. Saya merasa lebih baik menulis skenario. Namun, semangat teman-teman untuk menerbitkan buku mendorong saya melakukannya. Kita memang perlu mencari ruang apa yang tepat untuk menumpahkan energi. Menulis salah satunya," jelas Ine.

Seperti enam perempuan penulis lainnya, Ine menulis tanpa pretensi. "Tulisan saya lebih kepada kontemplasi, saya seperti bicara pada diri sendiri, tanpa pretensi apa pun," jelasnya. Meski begitu, nyatanya pilihan kata-kata Ine, memberikan inspirasi bagi orang lain dan ia pun mendapatkan apresiasi atasnya. Ia pun menemukan, apa pun yang Anda tuliskan boleh jadi orang lain akan merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, apa yang Anda tuliskan menjadi inspirasi atau bahkan membuat orang lain berkontemplasi bersama tulisan Anda.

Beberapa kalimat dalam tulisan Ine yang mendapatkan apresiasi dan bisa menjadi inspirasi di antaranya: Dan ternyata kita membutuhkan "sinting" untuk dapat melakukan lompatan-lompatan kehidupan; Aku dilarang besar kepala. Besar kepala adalah jalan tercepat untuk menjadi bodoh dan tumpul. Tapi mungkinkah itu bagian dari sebuah pencapaian? Pujian, pujian? Kuharap tidak.

Tulisan tanpa pretensi dihasilkan Ine dari pengalaman pribadinya. Berasal dari konflik dalam dirinya, atas keputusannya kembali tampil di panggung teater setelah tujuh tahun tak bersentuhan dengan dunia teater. Tak mudah baginya melakukan monolog selama 1,5 jam, seorang diri memerankan 10 karakter. Namun inilah tantangan yang diambil seorang perempuan urban, untuk memberanikan diri kembali melakukan hal yang memang disukainya.

"Butuh keberanian lebih bagi ibu beranak tiga yang sudah lama tak tampil di panggung teater. Ada keraguan pada awalnya, namun karena rindu panggung, saya melakukannya," tutur Ine yang menceritakan (dalam bukunya) bagaimana ia menikmati misteri di panggung teater di pementasan monolog yang berujung pada kesuksesan, termasuk apresiasi positif dari penikmat seni teater.

Ine memang tak meninggalkan pesan apa pun melalui tulisannya. Namun melalui satu tulisan yang dibukukan bersama tulisan perempuan lainnya, Ine menjadi bagian dari perempuan urban dengan berbagai kisah dan pengalaman. Anda bisa menemukan sendiri berbagai pesan dan makan mendalam yang tersirat dalam tulisan tujuh perempuan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar