Jumat, 03 Februari 2012

Naskah Monolog IKUN SRI KUNCORO

IBU KITA RAMINTEN
Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.

Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.

Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah) yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.

Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.

"Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi".

LINK DOWNLOADNYA DISINI :
http://www.mediafire.com/?weci75jirovguor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar